Global Climate Strike 2025

Global Climate Strike 2025: Suara Mahasiswa yang Mengguncang Politik Dunia

Politik

◆ Latar Belakang: Krisis Iklim yang Tak Bisa Lagi Diabaikan

Pada Agustus 2025, dunia kembali diguncang oleh gelombang demonstrasi besar-besaran bertajuk Global Climate Strike 2025. Gerakan ini dipimpin oleh mahasiswa dan aktivis muda di berbagai negara, dengan tujuan mendesak pemerintah untuk mengambil langkah konkret dalam menghadapi krisis iklim.

Krisis iklim bukan lagi isu masa depan. Banjir besar di Asia Tenggara, gelombang panas ekstrem di Eropa, dan kebakaran hutan di Amerika Latin menjadi bukti nyata bahwa bumi sedang dalam kondisi darurat. Laporan terbaru IPCC menyebutkan bahwa suhu global telah meningkat lebih dari 1,5°C, melewati ambang batas kritis yang bisa memicu kerusakan permanen pada ekosistem.

Generasi muda, terutama mahasiswa, merasa bahwa mereka adalah pihak yang paling dirugikan jika kebijakan iklim tidak segera diubah. Dengan semangat kolektif, mereka menuntut transisi energi bersih, penghentian subsidi bahan bakar fosil, serta komitmen serius terhadap net zero emission.


◆ Aksi Mahasiswa di Berbagai Negara

Global Climate Strike 2025 berlangsung serentak di lebih dari 100 negara. Aksi ini menjadi bukti nyata kekuatan jaringan global mahasiswa dan aktivis lingkungan.

  • Eropa: Di Berlin, Paris, dan London, puluhan ribu mahasiswa turun ke jalan membawa poster bertuliskan “No Future Without Green Action” dan “Stop Fossil Fuels Now.” Mereka juga menggelar aksi duduk di depan gedung parlemen, menolak bubar hingga pemerintah merespons tuntutan mereka.

  • Asia: Di Jakarta, Bangkok, dan Manila, mahasiswa menggelar aksi teatrikal dengan memakai topeng gas dan kostum menyerupai bumi yang terbakar. Pesan mereka jelas: tanpa perubahan kebijakan, generasi muda akan mewarisi dunia yang rusak.

  • Amerika: Di New York dan Los Angeles, demonstrasi berpusat di kampus-kampus besar. Ribuan mahasiswa menolak masuk kelas selama sehari penuh sebagai bentuk protes terhadap lambannya pemerintah AS dalam mengurangi emisi.

  • Afrika: Di Nairobi dan Cape Town, aksi mahasiswa digabung dengan komunitas lokal yang terdampak langsung oleh perubahan iklim, seperti petani yang gagal panen akibat kekeringan ekstrem.

Aksi ini menunjukkan bahwa isu iklim bukan hanya persoalan akademik, tetapi sudah menyentuh kehidupan nyata jutaan orang di berbagai belahan dunia.


◆ Tuntutan Utama: Dari Energi Bersih hingga Keadilan Iklim

Dalam Global Climate Strike 2025, mahasiswa mengusung sejumlah tuntutan utama yang dianggap mendesak:

  1. Transisi Energi Bersih: Pemerintah harus mempercepat peralihan dari energi fosil ke energi terbarukan seperti tenaga surya, angin, dan hidro.

  2. Penghentian Subsidi Fosil: Subsidi untuk minyak, gas, dan batu bara dianggap kontraproduktif terhadap upaya mengurangi emisi karbon.

  3. Keadilan Iklim: Negara maju diminta bertanggung jawab lebih besar karena merekalah penyumbang terbesar emisi global.

  4. Investasi Pendidikan Hijau: Universitas diminta menjadi pusat riset energi terbarukan, bukan justru menerima dana dari perusahaan minyak.

  5. Kebijakan Net Zero 2040: Banyak mahasiswa mendesak target lebih ambisius, bukan sekadar 2050 seperti yang saat ini ditetapkan banyak negara.

Tuntutan ini menunjukkan bahwa generasi muda tidak hanya mengkritik, tetapi juga menawarkan solusi konkret untuk menyelamatkan bumi.


◆ Reaksi Pemerintah dan Elit Politik

Gelombang besar Global Climate Strike 2025 memaksa banyak pemerintah memberikan respons cepat.

  • Uni Eropa berjanji akan memperketat target emisi dan memperluas zona bebas mobil berbahan bakar bensin di kota-kota besar.

  • Amerika Serikat melalui pemerintahan Trump kedua, justru mendapat kritik karena dianggap terlalu dekat dengan industri minyak. Demonstrasi di AS menjadi salah satu yang paling besar.

  • Tiongkok menyatakan komitmen melanjutkan investasi besar-besaran di energi terbarukan, meskipun masih menjadi pengguna batu bara terbesar dunia.

  • Indonesia dan negara Asia Tenggara menghadapi dilema antara kebutuhan energi murah untuk pembangunan dan desakan generasi muda untuk segera beralih ke energi bersih.

Sementara itu, perusahaan energi besar mengeluarkan pernyataan defensif. Mereka mengklaim sudah berinvestasi pada teknologi hijau, namun mahasiswa menilai langkah tersebut masih terlalu lambat dibandingkan urgensi krisis iklim.


◆ Dampak Sosial dan Budaya

Selain aspek politik, Global Climate Strike 2025 juga menjadi fenomena sosial dan budaya. Gerakan ini memperlihatkan betapa generasi muda kini lebih berani bersuara, menggunakan media sosial sebagai alat mobilisasi dan propaganda positif.

Hashtag seperti #ClimateStrike2025, #NoMoreFossils, dan #YouthForEarth menjadi trending global. Video orasi mahasiswa viral di TikTok, sementara poster digital dengan desain estetik menyebar di Instagram. Aksi ini memperlihatkan bagaimana gerakan sosial modern menggabungkan aktivisme jalanan dengan kekuatan digital.

Lebih jauh, gerakan ini memperkuat identitas generasi Z sebagai generasi yang sadar iklim. Mereka tidak hanya menuntut perubahan dari pemerintah, tetapi juga mengubah gaya hidup mereka sendiri: mengurangi penggunaan plastik, memilih transportasi publik, hingga mendukung brand fashion ramah lingkungan.


◆ Kesimpulan: Suara Mahasiswa, Harapan Bumi

Global Climate Strike 2025 membuktikan bahwa mahasiswa masih menjadi kekuatan moral dan politik dalam masyarakat modern. Dengan keberanian turun ke jalan dan menyuarakan kepedulian terhadap bumi, mereka menegaskan bahwa krisis iklim adalah isu generasi, bukan sekadar isu akademik.

Pertanyaannya kini adalah: apakah suara mahasiswa akan benar-benar mengubah kebijakan? Atau apakah mereka hanya akan dipandang sebagai simbol perlawanan sementara? Apa pun jawabannya, satu hal jelas: aksi ini telah menyalakan api kesadaran global bahwa masa depan bumi ada di tangan generasi muda.


Referensi: