Ini Biang Kerok Harga Beras Makin Mahal: Mafia, Distribusi & Kualitas!

Informasi

Distribusi Bottleneck: Stok Ada Tapi Tak Sampai ke Rakyat

ayokutip.com – Indonesia saat ini menyimpan cadangan beras pemerintah (CBP) sekitar 4,2 juta ton, namun harga di masyarakat tetap tinggi—ini menunjukkan masalah utama tampaknya bukan soal ketersediaan, melainkan distribusi yang buruk.
Bottleneck terjadi di beberapa titik: timbunan stok di gudang Bulog, ketidaktertarikan untuk melepas cadangan melalui operasi pasar, serta dominasi distributor dan tengkulak. Studi menunjukkan lebih 80–90% aliran distribusi dikendalikan pihak swasta, melemahkan peran negara dalam pengaturan harga.
Satgas Pangan bahkan mencatat manipulasi data distribusi; misalnya, yang tercatat keluar 11.410 ton dari gudang PIBC, ternyata realisasinya hanya 2.368 ton—ini membuat seolah pasokan banyak, padahal stok tak sampai ke konsumen.

Kenaikan Harga Gabah dan Rendemen Turun

Sumber dari Bapanas dan BPS menyebut harga gabah di tingkat petani saat ini telah melewati HPP Rp6.500/kg, menjadi sekitar Rp6.733/kg—ini wajar, tapi ternyata bukan pendorong utama kenaikan harga beras.
Masalah malah muncul dari kebijakan pembelian pemerintah yang membeli gabah bahkan dengan kualitas rendah tanpa mempertimbangkan rendemen—banyak gabah tinggi kadar air serta butiran hijau, sehingga biaya giling mahal dan menurunkan efisiensi produksi beras.
Ketidakpastian kualitas ini mengakibatkan biaya penyimpanan dan proses meningkat sehingga harga jual per kg beras naik, meski input berlimpah.

Peran Tengkulak & Mafia di Rantai Niaga

Menteri Pertanian Andi Amran Sulaiman menyebut bahwa adanya mafia beras di pasar tengah-lingkup menyebabkan harga melonjak, padahal stok dan pasokan tersedia.
Data Kementan menunjukkan selisih harga antara beras di penggilingan (~Rp12.733/kg) dan harga eceran (~Rp14.784/kg) mencapai Rp2.000/kg, yang mencurigakan karena perbedaan itu dijelaskan lebih karena markup tengkulak dan spekulan, bukan biaya operasional normal.
Fenomena anomali ini dikuatkan penelusuran Kompas.com dan ekonom, yang menyebut distribusi CBP tak maksimal, dan adanya praktik bermain harga dari pelaku pasar independen—menyebabkan harga di konsumen jauh dari teori hukum supply-demand.

Kurangnya Intervensi SPHP & Operasi Pasar

BPS dan Bapanas mencatat bahwa meski stok berlimpah, realisasi distribusi lewat SPHP dan bansos masih rendah. Data menunjukkan Bulog baru menyalurkan <200 ribu ton dari stok 4,2 juta ton.
Deputi Bapanas juga mengatakan penyaluran segera dilakukan jika anggaran dan instruksi sudah siap—tapi implementasinya berjalan lambat.
Akibatnya, operasi pasar berjalan sporadis dan tidak mencapai titik kebutuhan di daerah-daerah yang mengalami inflasi tinggi akibat harga beras naik lebih dari 10% dari HET.

Kualitas Buruk dan Pelanggaran Standar

Pengawasan Kementan menunjukkan mayoritas beras medium dan premium yang dipasarkan tidak sesuai standar mutu—beberapa oplosan dan dijual di atas HET.
Sebanyak 88% merek beras medium dan 85% premium melanggar kualitas, 95% dijual di atas HET, dan masih ada yang tidak sesuai bobot kemasan—hal ini menyebabkan kerugian konsumen hingga Rp99 triliun/tahun.
Beras SPHP bahkan dicampur dan dijual sebagai premium oleh oknum—ini menandakan ada masalah dalam pengawasan rantai niaga dari produksi hingga distribusi.

Dampak Sosial & Ekonomi bagi Konsumen

Kenaikan harga beras menambah beban rumah tangga. Kompas.com menyebut, kenaikan signifikan memaksa pengeluaran wajib beras naik, membuat gizi dan pengeluaran lain seperti pulsa jadi terganggu.
BPS juga melaporkan kenaikan harga beras terjadi di setidaknya 163 kabupaten/kota di Juni 2025, dengan kenaikan rata-rata 1–1,3% per bulan.
Asimetri distribusi ini mengakibatkan warga di beberapa daerah membayar harga Rp54.000/kg (zona 3 Maluku–Papua)! Padahal HET-nya sekitar Rp12.500–13.500/kg.

Solusi & Rekomendasi Pemerintah

Para ekonom dan pengamat mendorong pemerintah untuk segera menjalankan operasi pasar SPHP dan mempercepat penyaluran stok Bulog ke masyarakat.
BPS, Kementan, dan satgas pangan mengedepankan intervensi distribusi sebagai solusi utama—terutama dengan pengawasan ketat di gudang Bulog dan titik pasar, serta membasmi mafia melalui penindakan hukum.
Lebih jauh, perbaikan tata niaga secara sistemik menjadi keharusan—meliputi transparansi data distribusi real-time, standarisasi mutu, dan literasi konsumen agar mengenali kualitas beras sesungguhnya.

Biang kerok harga beras makin mahal bukan soal stok habis, tapi distribusi tersumbat, kualitas menurun, dan praktek mafia di tengah rantai niaga.
Stok berlimpah 4,2 juta ton di Bulog justru tidak turun ke masyarakat, karena distribusi SPHP lambat, sementara tengkulak menguasai aliran beras dan menetapkan harga tinggi. Ditambah mutu amburadul dan pelanggaran HET makin menindas konsumen.
Solusi utama adalah intervensi distribusi, percepatan SPHP, perbaikan tata niaga, dan tindakan hukum terhadap oknum yang memainkan pasar. Hanya dengan langkah itu, harga beras bisa turun dan rakyat sejahtera.